Face To Ghost - Creepypasta



Face to Ghost

Ilustration

Namaku adalah Melinda Snow, aku adalah seseorang yang begitu bersemangat saat mendengar paranormal activity, entahlah bagaimana awalnya aku begitu suka dengan hal-hal yang bahkan menurut saudaraku, Nancy, itu aneh.

Aku tidak setuju, ada perasaan senang sekaligus mendebarkan saat kau mencoba menyelidikinya, entah dari internet atau kau langsung turun ke lapangan. Aku memiliki blog sendiri, ku berikan nama “13nightDays”. Ada alasan kenapa aku begitu suka dengan angka “13”. Menurutku angka itu berkaitan dengan kematian. Kau tahu. Kematian. Dan itu membuatku penuh dengan rasa penasaran.

Cukup untuk basa-basinya. Tempo hari, aku menulis di blogku tentang “tempat mana yang paling ingin kau kunjungi namun menyimpan mimpi buruk terbesarmu?”

Sebelumnya, aku pernah mengunjungi Amtyville, meskipun mereka melarangku masuk dan aku hanya bisa melihat rumah tua itu dari luar namun aku tahu ada sesuatu yang mengerikan disana. Terselip ide untuk masuk paksa ke rumah itu saat semua orang sudah terlelap di dalam lingkungan rumahnya, namun ku urungkan ketika ada wanita bergaun putih datang ke mobilku yang sengaja ku parkir sedikit lebih jauh dari rumah.. aku ingat; dia (wanita) yang ku maksud, mengetuk jendela mobilku dan mengatakan, “Melinda. Pergilah. Itu adalah ide yang buruk.”

Aku tidak mengenal wanita itu, namun wanita itu tahu tentang namaku, dan hal terakhir yang ku lihat adalah wanita itu ada di rumah itu. Melambai-lambai ke arahku yang tercengang di dalam mobil saat itu. Aku pergi dan ku pikir mendengarkannya adalah cara yang bijak. Aku menulis pengalamanku dan semakin hari, blogku menjadi lebih terkenal, banyak yang menawarkan iklan, namun aku tidak peduli dengan uang, aku lebih suka cerita klasik tentang hantu. Aku sudah banyak menulis tentang banyak hal, Annabelle, atau Rumah tua di Albuquerque sampai Cabin di Alaska, namun selama pencarian ini tidak ada yang menarik selain pengalaman dengan wanita Amityvile.

Suatu hari, aku mendapatkan pesan dari seseorang bernama Brian O’l Deire. Aku tidak tahu banyak tentang dia, namun dia menulis blog yang sama denganku, “CreepySh*t”. Hanya bedanya, dia mengupload banyak video dan gambar-gambar yang katanya “dia ambil sendiri”.

Kami memulai percakapan tentang banyak hal. Intinya, dia menawarkan sebuah tantangan, atau mungkin tawaran bila aku tidak salah menduga. “Face to Ghost” yang awalnya aku tidak mengerti dengan maksudnya, namun dia menjelaskan cara bagus bila benar-benar ingin melihat mereka. Aku bertanya apa itu “Face to Ghost” dan dia menjelaskan itu seperti ritual hanya saja dengan cara modern. Saat dia mengatakan “modern” sebenarnya aku akan tertawa, namun ku tahan. Maksudku, modern dia bilang. Dan hantu. Apakah hantu dan modern itu sebuah kalimat yang logis, sinkron mungkin. Enyahlah dari pikiranku, Brian. Namun Brian bersikeras dan bilang ini akan berhasil. Jadi dengan terpaksa meski ini konyol, aku menerimanya.

Aku mendapat paket kiriman sebuah handycam dari Brian. Handycam-nya sendiri sudah di lengkapi dengan harddrake wireless atau bagaimana orang kutu buku menyebutnya, intinya handycam itu terhubung dengan smartphone, jadi aku bisa melihat rekamannya. Brian menjelaskan cara bermain dan memulai ritualnya. Idenya adalah, aku akan menggunakan handycam ini sebagai mataku yang langsung di transfer ke smartphone milik Brian, sedangkan Brian yang berada di tempat lain akan menggunakan handycam miliknya yang akan langsung terhubung ke smartphone milikku. Menurutnya dengan berada di 2 tempat negatif, itu akan memudahkan sebuah activity terjadi dan biasanya hal ini sangat sensitif pada mereka. Aku mendapatkan tempat gudang pabrik tua di Calera, sedangkan Brian akan berada di rumah tua besar di Sanders Bolled. Kau tahu, aku sedikit merinding saat menjelaskan permainan ini.

Malam aku memulainya. Aku menyetir mobil A4 milikku melintasi Tol Bretetire dan memarkir mobilnya jauh dari gudang lalu melanjutkannya dengan berjalan. Dari jauh aku bisa melihat pabrik tua itu tampak sudah lama di tinggalkan. Jam di tanganku menunjukkan pukul 19.15 malam. Aku menghubungi Brian menggunakan App Zello Walkie Talkie di smartphone yang terhubung ke earphone kami masing-masing.

“Hello, Brian. Aku sudah disini. Dan kau?”

“Aku juga,” katanya.

“So.. menurutmu?”

“Baik. Sejauh ini baik. Sudah kau siapkan segalanya? Aku ingin kau on sekarang.”

“Ok,” kataku gugup, sembari mengeluarkan handycam di tasku dan langsung menyalakannya.

“Aku on,” kataku.

“Ok. Aku sudah melihatnya. Bagus. Bisa mulai bergerak, aku juga akan on. Amati, ingat cara kita terhubung, bila kau melihat sesuatu yang mencurigakan di smartphone-mu, aku ingin kau memberitahuku. Cepat!!” Brian mengakhiri pembicaraan.

Aku melihat layar Smartphoneku dan Brian “on” di layar smartphone-ku. Aku bisa melihat sebuah pintu.. kami mulai bergerak masing-masing. Sepanjang perjalanan aku mengamati gudang tua itu, tidak ada yang menarik selain suara serangga, dan sejauh aku mengamati layar smartphone-ku aku tidak melihat ada yang aneh, hanya pemandangan rumah tua membosankan yang di rekam oleh Brian. Aku melihat jam dan mulai bosan, beberapa kali aku menangkap asap di layar smartphone-ku yang menunjukkan bahwa Brian sedang merokok, tampak sama bosannya denganku, ku buka bungkus permen karet dan mulai mengunyahnya saat Brian tiba-tiba berteriak di earphone-ku.

“Wuooow!! Wuooow!! Kau melihatnya?..”

“Apa?!” Tanyaku terkejut.

“Ada yang melintas di depanmu.” Katanya terdengar tergesa-gesa.

“Kau bercanda, kan?” Ku pikir Brian sengaja menggodaku.

“Tidak, nona. Aku melihatnya di smartphone-mu, arah jam 12, ada seseorang. Bisa kau periksa?”

“Arah jam 12 kau bilang? Baiklah.” Ku putuskan berjalan mendekati area sebuah pipa besar, aku ingat. Disana, semak belukarnya sudah sangat liar, tidak ada lagi yang merawat tempat ini.

“Aku tidak melihat apa-apa,” kataku dengan nada mengejek seolah-olah aku membatin pada Brian, “lelucon yang payah!!”

Brian masih menyerukan agar aku memeriksa sekeliling, saat aku tanpa sengaja menatap layar smartphone-ku. Tepat di sebelah tangga, aku melihat gadis kecil menatap ke kamera.

“Oh my God!! Brian. Lihat di depanmu, bung!!” Seketika kamera gemetar menyorot pada yang lain dan aku berteriak semakin keras, “bukan kesana bodoh. Di depanmu!”

“Apa? Memang apa yang kau lihat??” Saat kamera mulai fokus ke tempat itu lagi, gadis itu lenyap.

“Ada gadis tadi di atas tangga. Kau tidak melihatnya, Brian?? Apa kau tidak melihatnya!!” Aku setengah berteriak saat itu.

“Entahlah. Oh, ya ampun. Apa gadis itu di tangga? Aku akan memeriksanya. Kau juga awasi tempat itu.”

Kami masih bertukar informasi, aku sudah berkeliling hampir di seluruh area dan memutuskan istirahat di sebuah bebatuan. Sampai sesuatu terjadi pada smartphone-ku. Gambar yang seharusnya ku dapat dari handycam milik Brian tiba-tiba gemeresak dan aku tidak melihat apapun.

“Brian kau disana?? Gambar yang kau kirim pecah.. kau baik-baik saja?”

“Pecah?” Tanyanya. “Menurutku baik-baik saja. Tidak ada kesalahan, signalnya cukup untuk mengirim gambarnya.”

“Brian. Aku serius,” kataku.

“Entahlah. Aku tidak melihat apapun, bisa kau lakukan sesuatu?”

“Oke. Oke. Oke,” katanya. Mataku masih memandang layar smartphone, sampai tiba-tiba layar kembali terlihat, kali ini merekam sebuah kamar.

“Brian. Aku melihatnya. Di kamar, hah? Kau sedang apa? Buang air??” Tanyaku sedikit membuat guyonan.

“Ya. Ya. Ya. Aku buang air. Jangan mengintip!!” Tepat fokus kamera mengarah ke pintu dan saat itu aku melihatnya dengan jelas. Pintu berderit terbuka, dan sosok gadis kecil mengintip benar-benar terlihat di depanku.

“Brian.”

“Iya. Apa?”

“Ada gadis kecil tepat di kameramu. Kau meletakkannya di lantai.. kau bisa melihatnya..”

“Gadis apa? Aku meninggalkannya di kamar, dan aku sekarang di toiletnya. Apakah aku harus memeriksanya sekarang, aku masih setengah jalan keluar,” ucapnya seolah-olah aku membuat lelucon.

“Tapi—Melinda, kameramu?”

“Apa? Kameraku?” Aku melirik kameraku yang ku letakkan di atas batu di sampingku. Fokus kameranya mengarah tepat di belakangku.

“Melinda. Jangan melihatnya. Ok. Tinggalkan tempat itu.. dengar aku. Tarik nafas. Melinda, kau masih disana?? Jangan melihatnya. Ok???????” Ucap Brian.

“Apa?? Apa yang kau lihat Brian??”

“Lari.. saat aku menghitung 1 sampai 3. Lari sekuat tenagamu..?? Siap?? Melinda.. apa kau siap??”

Aku masih membeku di tempatku. Lalu, Brian berteriak.

“Tiga!!!”

Ku raih kameraku dan aku berlari sekuat yang aku bisa. Langkah kakiku terdengar melesak saat menembus semak belukar, aku menembus kawat pagar dan langsung menuju mobilku, ku nyalakan mesin dan langsung bergegas pergi. Aku berhenti di pemberhentian jalan tol. Saat aku merasa sudah aman, aku mulai menghubungi Brian.

“Brian kau disana?? Brian..”

Namun tak ada jawaban. Ku lihat kameraku, dan membuka replay dan seketika kengerian membanjiri wajahku. Gadis itu berdiri di belakangku dengan sebilah pisau di tangannya. Ku raih smartphone-ku saat melihat kamera Brian menyorot kaki kecil itu yang mendekat.. dan seketika wajah gadis itu menatap ke kamera dan berteriak, “Booo!” Kamera mati, dan sambungan kami terputus.

Satu hari kemudian, aku mendapatkan kabar dari Brian. Sekarang dia di rumah sakit, dengan kaki yang patah. Terjatuh dari tangga. Yang menarik adalah, saat kami memeriksa ulang semua rekaman itu, tidak ada gadis kecil itu disana. Hanya tersimpan di dalam rekaman memori otak kami masing-masing.

Kalian boleh percaya, atau mengatakan bahwa mereka tidak ada. Tapi aku tahu sendiri apa yang ku lihat pada saat itu.

Penulis: Ice Prince

Sumber: Dark Ice



Share on:

Like this article? Consider leaving a

Tip

Related Post