Lebih Baik Matikan Lampunya! - Creepypasta



Gambar Lampu

Image form Treetop.pl

Dahlia memeluk dirinya sendiri di sofa. Terkadang matanya melirik ke arah pintu utama. Sekitar setengah jam yang lalu ia sudah menghubungi ketiga temannya, Zahra, Jennie dan Mimi. Ia meminta ketiganya untuk menginap malam ini karena orangtuanya pergi keluar kota.

Jujur saja, Dahlia itu penakut. Tetapi ia berusaha untuk menjadi pemberani. Jadi, ia meminta teman-temannya untuk bercerita hantu secara bergiliran. Satu poin untuk membuatnya terlihat berani.

Saat ia sedang melamun, ada ketukan dari pintu depan. Dahlia bergegas turun dari sofa dan berlari ke arah pintu. Segera ia membukanya dan mendapati ketiga temannya sudah berdiri di depan pintu.

“Eh? Kalian datang bersama?” sapa Dahlia saat melihat teman-temannya itu. Jennie yang berdiri paling depan mengangguk. Dahlia mempersilahkan mereka untuk masuk.

“Maaf ya meminta kalian menginap. Orangtuaku baru berangkat jam sepuluh tadi.”

Mimi berkata tidak apa-apa sedangkan Dahlia tersenyum senang. Dia membawa teman-temannya menuju kamar miliknya di lantai dua.

“So, apa yang akan kita lakukan sekarang? Apa kalian mengantuk?”

Dahlia menutup pintu ketika semuanya sudah masuk. Zahra segera merebahkan tubuhnya di ranjang, sedangkan Mimi dan Jennie memilih untuk duduk di tepi.

“Bukankah kau tadi mengajak kami untuk bercerita hantu?” tanya Jennie.

Dahlia mengusap tengkuknya dan mendekati mereka di ranjang. Sebenarnya tadi hanya siasatnya, tapi sial, teman-temannya menagih janji itu.

“A-ah, iya, aku lupa…” dia naik ke atas ranjang dan duduk di hadapan Mimi dan Jennie. Zahra mengambil posisi duduk kemudian.

Dahlia menatap ketiga temannya bergantian. Sial, kenapa ia jadi terjebak seperti ini? Dahlia menangkap gerakan Mimi yang tiba-tiba turun dari ranjang. Dahlia menatapnya bingung.

“Mau kemana?”

“Mematikan lampu.” katanya santai. Lalu berjalan menuju saklar lampu di dekat pintu. Dahlia menggeleng lalu mencegahnya.

“Jangan! Nyalakan saja lampunya, ya?” Mimi menghentikan gerakannya lalu menatap Jennie dan Zahra bergantian.

“Please…”

Mimi akhirnya mengalah dan kembali duduk di samping Jennie. Dahlia tersenyum lega lalu mengikutinya.

“Jadi siapa yang mulai?”

“Aku saja,” kata Zahra. Semua memandangnya. Zahra menarik napas dan mulai bercerita.

“Jadi, beberapa waktu yang lalu ada seorang gadis yang melewati sebuah jalan yang tidak jauh dari rumah ini.”

Dahlia menelan ludahnya. ‘Sial, apa Zahra serius? Tidak jauh dari rumah ini?!’ batinnya ketakutan. Tubuhnya merinding sekarang, padahal ceritanya belum ada satu per-empatnya.

“Dia menaiki mobil. Mungkin sekitar pukul satu malam. Tiba-tiba ia merasa seperti melindas sesuatu. Gadis itu berhenti untuk mengeceknya. Tetapi tidak ada apapun. Ia kembali ke dalam mobil… lalu…”

“Lalu apa?” Dahlia menarik bantal yang tak jauh dari dirinya lalu menggigit bibir. Mimi dan Jennie tampak tidak bereaksi.

“Ia kembali melajukan mobilnya sampai ke rumah. Kemudian saat dia membuka pintu … ada seseorang yang sudah berdiri di depan pintu mobilnya.”

“S-siapa itu?” tanya Dahlia.

Dahlia memang penakut, tapi dia terlalu penasaran. Jadi mulutnya memang tidak bisa diajak untuk diam.

“Ada seorang wanita berdiri di depannya. Tetapi yang membuatnya kaget adalah… wanita itu tanpa kepala.”

“Apa?!” Dahlia menjerit dan memeluk bantalnya semakin erat. Sedangkan Mimi dan Jennie tidak bersuara.

Zahra menatap Dahlia perlahan. “Dia menunjuk ke bawah mobil. Lalu kemudian terdengar suara dari bawah mobil,”

Dahlia menggigit bibir bawahnya. Zahra menatapnya tajam. “‘tolong kembalikan kepalaku pada tubuhku,”

“Aaarghhh!”

Dahlia menutup matanya erat dan menjerit lagi. Sebenarnya ia ingin menangis. Ia tahu ini baru satu cerita, tetapi Dahlia begitu ketakutan. Dia benar-benar penakut. Mimi dan Jennie meliriknya.

“Baiklah, sekarang giliranku. Tapi aku ingin lampu dimatikan.”

Dahlia membuka matanya perlahan dan menatap Mimi yang bersuara. Dia menggeleng pelan.

“Kita matikan lampu. Itu lebih menyenangkan.” Jennie menambahkan. Dahlia menggeleng lagi.

“Kami ingin lampu dimatikan.” kata Zahra.

Kini Dahlia menatap ketiganya bergantian. Dia menggeleng lagi.

“Kumohon… biarkan lampu menyala…”

Mimi mengalah lagi, begitu pun dengan Jennie dan Zahra. Kemudian Mimi memilih untuk memulai ceritanya. Dahlia memeluk bantalnya semakin erat.

“Ini terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Saat itu … ada seorang gadis yang baru pulang dari sekolah. Dia pulang cukup larut setelah mengerjakan tugas,”

Dahlia merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia ingin sekali menyudahi acara ini, dan digantikan dengan perang bantal. Atau mungkin memasak? Sialnya, dia yang menyarankan untuk bercerita hantu.

“Dia berjalan di sebuah jalanan yang cukup sepi. Lalu langkahnya terhenti ketika seorang wanita berjalan mendekatinya. Jalannya sedikit aneh, dia pincang,”

Dahlia menggigit bibirnya lagi.

“Kemudian wanita itu berhenti di hadapannya. Gadis itu bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu. Jelek. Sudah rusak. Seperti habis kecelakaan. Tubuhnya juga bersimbah darah…”

Dahlia menyembunyikan wajahnya sedikit pada bantal. Zahra dan Jennie hanya diam.

“Lalu dia berkata … ‘bisa kau urus bayiku?’” Mimi menatap Dahlia dan melebarkan matanya.

“Kemudian sesosok bayi berlumuran darah muncul dari balik pakaian yang digunakan oleh wanita itu. Bayi itu merangkak dengan cepat menuju rok dari gadis sekolahan itu dan menerobos masuk ke dalam rahimnya.”

“Sudah! Berhenti! Aku tidak tahan!” Dahlia menutup erat kedua telinganya dan memejamkan matanya kembali.

Dia benar-benar ketakutan setengah mati sekarang. Apalagi raut wajah Mimi saat bercerita. Mimi memang pandai menakutinya. Dahlia merasakan ada rasa panas di matanya. Sepertinya dia akan menangis.

“Sekarang matikan lampunya, ya?”

“Jangan, please … hiks …” pinta Dahlia.

Dia tidak peduli jika teman-temannya tertawa karena ia menangis sekarang. Yang pasti Dahlia tidak mau cerita berlanjut dan lampu dimatikan. Tetapi sepertinya harapannya sia-sia.

Jennie memulai ceritanya. “Saat itu, ada seorang gadis yang suka berpetualang. Dia pergi menaiki gunung sendiri, dan memilih untuk berkemah.”

Dahlia masih memejamkan matanya erat. Berusaha untuk tidak mendengarkan, tetapi suara Jennie terdengar begitu jelas.

“Dia memotret banyak hal. Lalu keesokkan harinya ia pulang. Saat sampai di rumah, ia mengecek apa saja yang dipotretnya. Ada foto kupu-kupu, bunga, gunung, langit… dan…”

Dahlia berdoa di dalam hatinya.

“Foto dirinya tengah tertidur di dalam tenda.”

Deg!

Klik!

Tap!

Bersamaan dengan terkejutnya Dahlia mendengar akhir dari cerita Jennie, Dahlia mendengar suara saklar lampu yang ditekan. Dahlia masih memejamkan matanya. Dia yakin salah satu dari mereka, Mimi sepertinya, mematikan lampu di ruangan itu.

“Sudah ku bilang jangan dimatikan!”

Dahlia menjerit dan membuka matanya. Benar saja. Sekelilingnya sudah gelap. Tetapi teman-temannya tidak mengatakan sepatah kata pun. Dahlia turun dari ranjangnya perlahan. Lalu bergegas menuju pintu, untuk mencapai saklar. Lampu harus tetap menyala. Ia tidak mau tahu. Lampu harus menyala karena ia ketakutan.

Dan, klik!!!

Dahlia berhasil menyalakan lampunya. Dia berbalik, berniat untuk menghakimi siapapun yang berani mematikan lampu untuk menakutinya. Tetapi napasnya terhenti ketika melihat ketiga temannya menatapnya dari atas ranjang … dengan rongga mata mereka yang berlubang.

“Sudah kami katakan, lebih baik lampunya dimatikan, bukan?”


Sumber: Dark Ice
Cerita: Ice Prince
Gambar: Treetop.pl



Share on:

Like this article? Consider leaving a

Tip

Related Post