Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, rumah sakit jiwa di berbagai belahan dunia berdiri bukan sebagai tempat penyembuhan, melainkan sebagai simbol keputusasaan masyarakat terhadap mereka yang dianggap “tidak sesuai” dengan norma. Alih-alih menjadi tempat pemulihan mental, banyak rumah sakit jiwa berfungsi seperti penjara bagi mereka yang tidak bisa “menyesuaikan diri” — dari mereka yang benar-benar mengalami gangguan jiwa, hingga orang-orang yang hanya sekadar dianggap aneh, sulit diatur, atau merepotkan.
Siapa Saja yang Dikirim ke Sana?
Tak hanya pengidap gangguan mental serius seperti skizofrenia, bipolar, atau epilepsi yang dijebloskan ke dalam institusi ini. Label “gila” diberikan begitu mudahnya kepada kelompok rentan lain:
- Wanita yang “terlalu emosional” — sering kali hanya karena menangis, melawan suami, atau menolak norma, mereka diberi cap “histeris” dan dikurung.
- Orang miskin dan tunawisma — karena dianggap beban sosial.
- Penyintas kekerasan dalam rumah tangga — justru dituduh sebagai penyebab kekacauan rumah tangga.
- Anak yatim dan lansia — yang dianggap tidak lagi punya tempat dalam masyarakat atau keluarga.
Mereka semua dikurung bersama, tanpa pertimbangan medis yang akurat, tanpa perbedaan jenis kelamin, usia, atau tingkat gangguan.
Perawatan atau Penyiksaan?
Metode “pengobatan” yang diterapkan tak bisa disebut manusiawi. Banyak prosedur medis saat itu dilakukan tanpa pemahaman yang utuh tentang kesehatan jiwa, dan lebih menyerupai penyiksaan:
- Terapi kejut listrik yang dilakukan tanpa anestesi.
- Pemandian dalam air es, yang dipercaya bisa “mendinginkan” emosi dan kegilaan.
- Trepanasi — pengeboran tengkorak untuk “mengeluarkan roh jahat”.
- Pemasungan dan isolasi, di mana pasien dirantai atau dikurung berhari-hari dalam ruangan tanpa cahaya.
Dokter Jiwa atau Algojo Berseragam?
Sebutan “dokter jiwa” sering kali hanya nama resmi. Dalam praktiknya, banyak dari mereka lebih menyerupai penjaga penjara atau bahkan algojo. Alih-alih merawat, mereka kerap melakukan eksperimen medis keji demi kepentingan riset atau kepuasan pribadi.
Pasien dijadikan kelinci percobaan hidup: disuntik zat-zat tak dikenal, diberi obat dalam dosis mematikan, atau dioperasi tanpa pembiusan. Tidak sedikit dari mereka yang meninggal dalam proses, atau kehilangan fungsi tubuh dan mental secara permanen.
Kondisi Fasilitas yang Mengiris Hati
Institusi-institusi ini penuh sesak dan jauh dari kata layak. Fasilitas minim, bahkan tidak manusiawi:
- Kamar sempit dan gelap, tanpa ventilasi.
- Tanpa kasur — hanya jerami kotor atau lantai batu yang dingin.
- Makanan sedikit dan tidak bergizi, sering kali sisa dapur atau busuk.
- Bau menyengat dari kotoran manusia karena tidak adanya sanitasi.
- Teriakan, tangisan, dan lolongan menjadi suara latar sehari-hari — satu-satunya ekspresi penderitaan yang masih tersisa.
“Bedlam” — Ketika Penderitaan Jadi Hiburan Publik
Salah satu contoh paling suram adalah Bethlem Royal Hospital di Inggris, atau lebih dikenal dengan sebutan “Bedlam”. Rumah sakit ini menjadi destinasi wisata bagi masyarakat umum, yang membayar tiket hanya untuk menonton pasien-pasien “bertingkah aneh”. Orang-orang datang seperti menyaksikan sirkus, tertawa atas penderitaan sesama manusia.
Ini mencerminkan rendahnya pemahaman dan empati masyarakat pada saat itu terhadap isu kesehatan mental. Sakit jiwa dianggap aib, bukan kondisi medis yang perlu penanganan. Bahkan keluarga korban pun kadang ikut mendorong anggota keluarganya ke tempat seperti ini hanya untuk menghilangkan “masalah”.
Penutup: Jejak Kelam yang Tak Boleh Terulang
Kisah rumah sakit jiwa abad ke-19 adalah peringatan keras tentang apa yang terjadi ketika ketidaktahuan, stigma, dan kekuasaan bertemu dalam sistem yang tak punya empati. Meskipun dunia medis dan sosial telah banyak berkembang, sisa-sisa stigma terhadap gangguan mental masih terasa hingga kini.
Sudah saatnya kita berhenti melihat gangguan jiwa sebagai “kegilaan”, dan mulai memperlakukannya sebagai bagian dari kesehatan yang butuh perhatian, pengertian, dan perawatan — bukan pembuangan.
Sumber: DarkIce
Sumber Gambar: SpringerLink